Awalnya, Sri mengira anak dalam gendongan Supriono itu tidur lelap. Apalagi Supriono, pria asal Muntilan, Jawa Tengah, itu menggendong mayat Nur Khaerunisa, anaknya, seolah sedang menina-bobokan. "Saya pikir dia mau jalan-jalan dan butuh ongkos," kata Sri kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Sri jadi lemas ketika dijelaskan bahwa anak dalam gendongan itu telah menjadi mayat.
Pertemuan Supriono dengan Sri itu merupakan ending drama memilukan yang dialami pemulung kardus dan botol plastik bekas itu. Sekaligus menjadi akhir kisah sedih Supriono sepanjang hari, menyusuri jalan-jalan Jakarta dengan menggendong anaknya yang telah tiada. Tanpa diminta, Supriono pun bercerita kepada Sri Suwarni.
Sebenarnya, dokter di puskesmas Setiabudi, Jakarta Pusat, meminta Supriono membawa kembali anaknya untuk berobat. Kemelaratan yang mendera keluarga pemulung itu membuat sang ayah menolak anjuran dokter. Sekali berobat ke puskesmas, dia harus membayar Rp 4.000. Meski biaya berobat itu sama dengan ongkos parkir mobil di Jakarta Kota, Supriono tidak sanggup membayarnya karena ia hanya seorang pemulung.
Sebagai pemulung, penghasilannya sekitar Rp 10 ribu setiap hari. Uang itu harus cukup untuk biaya makan dia dan dua anaknya, Muriski Saleh dan Nur Khaerunisa. Bagaimana bisa mengobati anak, apalagi sampai menungguinya di puskesmas? Pekerjaan pemulung harus tetap dijalani. Khaerunisa yang lemas kesakitan terpaksa pula dibawa dalam gerobak, sesekali dicandai oleh kakaknya, Muriski Saleh.
Tuhan rupanya turun tangan menyelamatkan gadis cilik tanpa dosa ini. Setelah empat hari meringkuk dalam gerobak, Khaerunisa dipanggil menghadap ke haribaan-Nya. Pukul 07.00 pagi di hari Minggu, bocah berumur 3 tahun itu mengembuskan napas terakhirnya di peraduan Tuhan, sebuah gerobak tua yang berada di sebuah "rumah" yang lapang tanpa atap dan dinding, di bawah kereta layang di kawasan Cikini. Supriono berkabung, Muriski tak tahu adiknya meninggal, dan orang-orang sibuk lalu-lalang.
Supriono merogoh saku bajunya. Ada sedikit uang tersisa, tapi tak sampai Rp 10.000. "Jangankan menguburkan anak, untuk membeli kain kafan saja saya tidak mampu," katanya. Kemelaratan membuat Supriono nekat ingin membawa mayat si bungsu ke Kampung Kramat, Bogor, menggunakan kereta rel listrik (KRL) Jabotabek. Di sana, sebuah lokasi tempat kaumnya para pemulung bermukim, dia berharap mendapat bantuan penguburan. Jakarta tak memungkinkan hal itu. Begitu terlintas dalam pikiran Supriono.
Mayat si bungsu pun dibawa menggunakan gerobak, alat kerja sekaligus tempat tidur kedua anaknya setiap hari. Dia menyusuri Jalan Cikini, Manggarai, menuju Stasiun Tebet. Mendekati stasiun, Khaerunisa dibopong menggunakan kain sarung layaknya menggendong anak yang masih hidup. Agar tidak terlihat sudah meninggal, wajah gadis mungil itu ditutup dengan kaus. Sementara itu tangan yang lainnya menuntun Muriski Saleh, bocah enam tahun.
Melihat pria menggendong anak dengan muka tertutup, seorang pedagang minuman iseng bertanya. "Saya jawab anak saya sudah mati dan akan dibawa ke Bogor," kata Supriono berterus-terang. Keterusterangan ini membawa celaka, calon penumpang lain yang mendengar jawaban itu sontak geger. Hari gini gendong mayat naik KRL? Supriono pun digelandang bak pesakitan ke kantor polisi Tebet.
Supriono lalu diperiksa di Polsek Tebet. Lebih dari empat jam duda cerai dengan Sariyem itu diinterogasi aparat. Kesimpulannya, polisi tetap curiga, lalu memutuskan mengirim mayat Khaerunisa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi. Supriono tunduk dan menyerah. Tetapi di kamar mayat RSCM, dia menolak tegas anaknya diotopsi. Masalahnya, ia tidak punya uang untuk biaya otopsi itu, selain dia kasihan melihat mayat putrinya yang sudah tenang dibedah. Tubuh kaku Khaerunisa akhirnya tidak jadi dibedah, namun Supriono meneken surat pernyataan penolakan otopsi.
Aneh bin ajaib (atau karena Supriono seorang pemulung?), mayat kecil itu diperbolehkan dibawa keluar rumah sakit dengan cara digendong. Ke mana sang anak harus dikuburkan? Pertanyaan itu menghujani pikiran Supriono. Dalam keadaan bingung, ia membopong mayat anaknya ke jalanan. Sejumlah sopir ambulans sempat menawarkan jasa untuk mengangkut mayat itu. Jasa? Ya, jasa di Jakarta berarti uang. Sopir ambulans mengurungkan jasa itu begitu mendengar Supriono tidak punya uang untuk membayarnya.
Orang kecil seperti ditakdirkan berteman dengan orang kecil. Para pedagang sekitar RSCM, beberapa orang lagi yang kebetulan ada di trotoar, mulai urunan memberi uang sekadarnya untuk Supriono. Merasa cukup punya uang dari sedekah, Supriono memanggil sopir bajaj. Ia tiba-tiba teringat Sri Suwarni, pemilik rumah petak yang pernah disewanya beberapa tahun lalu. Bajaj pun meluncur ke Jalan Manggarai Utara VI, Jakarta Selatan, rumah petak Ibu Sri.
Menurut Asisten Bagian Kesejahteraan Masyarakat Sekda DKI Jakarta, Rohana Manggala, kasus Supriono seharusnya tidak terjadi. Selama ini Pemda menyediakan pelayanan gratis bagi orang tidak mampu. "Syaratnya mudah, tinggal meminta surat keterangan tidak mampu dari RT/RW di mana dia berdomisili," katanya. Agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi, Rohana berharap pengurus RT aktif melakukan sosialisasi soal ini.
Siapa sebenarnya Supriono? "Saya mengenal keluarga Supriono hanya sebentar. Tahun 2003 lalu mereka mengontrak rumah petak saya," kata Sri Suwarni. Ketika itu, Supriono mengontrak sebuah kamar berukuran 6 meter persegi. Sewa rumah panggung dengan dinding papan tripleks dan seng bekas itu per bulan Rp 140 ribu. Saat tinggal di rumah kontrakan, kata Sri, Supriono bersama istrinya Sariyem membawa banyak perabotan seperti televisi 20 inci dan kipas angin.
Sri tak mengikuti perkembangan Supriono sejak keluarga itu tidak lagi mengontrak rumahnya. Terakhir kabar yang diterima Sri adalah Supriono bercerai dengan istrinya, yang memilih pulang kampung. Sejak pisah dengan istrinya, Supriono hidup menggelandang dengan dua anaknya menyusuri jalan-jalan di Jakarta. Dia sengaja membuat gerobak kayunya tertutup di bagian tengahnya untuk tempat tidur dan berlindung dua anaknya. Di bagian depan gerobak dibuat kotak yang digunakan untuk menyimpan baju dan keperluan anaknya. "Saya mangkal di halte depan Gereja (Isa Almasih) Cikini. Kalau lagi hujan, gerobak saya bawa ke halte, biar anak-anak tidak kehujanan," tutur Supriono tentang "domisilinya" itu.
Tuan-tuan pejabat di DKI, kalau domisili Supriono seperti itu, ke mana dia harus meminta surat keterangan tidak mampu?
Tulisan ini semata2 hanya untuk membuka mata kita semua agar tidak terjadi lagi supriono-supriono selanjutnya
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/06/13/NAS/mbm.20050613.NAS119060.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar